Orang kelima yang paling banyak menangis di dunia ini adalah satu-satunya anak yang selamat dalam peristiwa pembunuhan di tanah Karbala, yaitu Zainal Abidin . Beliau terus berada dalam kepedihan hati. Air matanya tidak pernah kering mengalir hingga wafat. Dalam bait-bait puisi telah sering dituliskan bahwa Zainal Abidin selalu menangis sampai beliau tidak bisa bicara. Bahkan, jubah beliau selalu basah oleh linangan air mata, baik di musim dingin maupun panas. Mereka bertanya kepada ratunya para hamba yang menangis tentang ayahandanya, “Berkenankah Anda menunjukkan sebuah kenangan dari sang ayahanda?” Fatimah az-Zahra luap dalam linangan air mata ketika menerangkan sosok Rasulullah . Meski demikian, dari wajahnya terpancar cahaya yang begitu terang bermandikan taman mawar surga. “Beliau memiliki tempat untuk duduk dengan bersandar pada pelepah kurma. Kami pernah memindahkannya ke sini,” katanya seraya menunjuk ke suatu tempat yang ketika masih hidup Rasulullah sering duduk bersandar pada batang pohon kurma. Namun, sandaran itu sudah tidak ada. Fatimah pun merasa sedih. Sampai-sampai, mereka yang bertanya tetang hal ini merasa menyesal karena telah membuat Fatimah makin bersedih. “Sungguh, seandainya saja kita tidak menanyakan hal itu sehingga Fatimah tidak teringat dengan ayahandanya, kekasihnya.” 342 Pada masa lalu, saat para khotib, ahli ceramah, hakim, dan orang-orang berseru untuk memberi nasihat tentang kebaikan dan keadilan, mereka akan memegang tongkat. Tongkat, sebagai mana pohon, melambangkan ketegakan. Tongkat juga ikhtiar sesuai dengan sebab, bahasa kedua, kendaraan, sandaran, anggota badan, teman berbagi rahasia, teman seperjuangan, dan saksi nyata dari orang yang memegangnya. Demikian pula Rasulullah , ayahanda Fatimah az- Zahra, yang juga suka membawa tongkat. Kadang, beliau berceramah dengan bersandar pada tongkatnya. Beliau juga membuat garis pada tanah dengan tongkatnya yang terbuat dari batang kurma. Rasulullah juga sering bersandar pada tongkat saat berjalan. Ketika menaiki unta, Rasulullah menyelipkan tongkatnya di samping punggung unta sebelah depan. Bahkan, banyak yang mengisahkan, ketika berkhotbah wada Rasulullah mengangkat tongkatnya yang bernama Hajarul Aswad. Beliau membawa tongkat yang bernama Urjun saat berziarah ke Jannatul Baqi. Saat berkhotbah, Rasulullah juga memegang tongkat yang terbuat dari batang tanaman gunung bernama Mamsuk. Ketika berkhotbah di hari raya atau memohon hujan, beliau juga membawa tongkat khusus yang dibawa Bilal . Rasulullah juga sangat menyukai tongkat yang dihadiahkan Raja Habasyah, Najasyi. Bahkan, beliau meletakkannya di musala. Tongkat-tongkat ini atau kayu sandaran yang terbuat dari pelepah kurma adalah teman berbagi rahasia Rasulullah , sahabat setia yang selalu menemani perjalanannya. Jadi, setiap 343 kali melihat tongkat, Fatimah selalu menangis karena teringat dengan ayahandanya. Ya, karena Fatimah adalah kenangan baginda Rasulullah . Ia adalah pertanda, isyarat, jari telunjuk, dan setempel penanda bagi Rasulullah ..., “Sebuah kenangan,” kata Junaydi Kindi kepada putranya. “Ya, kenangan adalah ikatan yang menghubungan antara masa lalu dan sekarang. Pada saat itulah kenangan akan menggetarkan hati dengan kepedihan dan kerinduan. Kenangan menyimpan dua masa, yaitu awal dan akhir, yang menggugah seseorang untuk kembali berzikir. Saat-saat seperti itu jagat raya terangkum dalam satu masa, baik Timur maupun Barat, Utara maupun Selatan. Semuanya berada dalam satu titik, dalam satu titik waktu yang penuh dengan daya tarik magnet cinta. Kenangan dan zikir tidak mengenal waktu, Abbas. Seseorang yang sedang dalam kepedihan rindu membuat tempat dan waktu menyatu dalam kecepatan sesaat. Karena itu, jangan sampai engkau mengira orang yang menangis tersedu- sedu dalam kerinduan sebagai seorang yang dungu. Siapa saja yang menjerit pedih dalam hatinya, menahan pedih rindu kepada Rasulullah , ketahuilah bahwa ia adalah seorang yang khas. Seorang yang sadar akan takdir yang telah digariskan. Jadi, jangan sampai engkau memandang remeh para ahli cinta yang menangis meratapi kepedihan hati. Sungguh, kehidupan ini telah mengajariku untuk menghormati tetesan air mata, Abbas!” 344 Junaydi Kindi kemudian membacakan surah al-Qadar dengan penuh penghayatan, fasih dalam perenungan maknanya. Sesungguhnya Aku telah menurunkannya pada malam Qadar Tahukah kamu apakah malam Qadar itu? Dialah malam yang lebih mulia daripada seribu bulan Pada malam itu para malaikat dan ruh, dengan seizin Tuhannya, telah turun untuk mengatur segala. Pada malam itu tercurahlah salam sampai tibanya waktu fajar “Surah ini diturunkan di Mekah, berita gembira di hari- hari awal Mekah, Abbas! Siapa saja yang menjumpai Nabi , ayahandanya Fatimah, akan terheran-heran dengan kesahajaannya. Kemegahan dan kedahsyatan berita dalam ayat itu telah membuat rambut Rasulullah menjadi putih. ...sejak kelahirannya, kedua mata baginda Fatimah az-Zahra telah mendapatkan pancaran dari kilauan cahaya risalah... Coba kamu pikirkan, Abbas! Ayahanda Fatimah adalah seorang nabi, utusan dari Zat yang telah menurunkan wahyu untuk menjadi obat dan hidayah bagi jiwa. Pernahkah engkau pikirkan bagaimana Ahli Bait mendengarkan Rasulullah memberitahukan ayat ini? 345 Misalkan suatu malam para malaikat turun ke Bumi dengan membentuk barisan bersaf-saf. Malaikat Jibril juga ikut menghadiri kegembiraan pada malam itu. Kira-kira, bagaimana perasaan orang-orang pada malam itu? Suatu malam di sebuah rumah, tempat wahyu turun. Pernahkah terlintas dalam pikiran kita bagaimana Rasulullah membacakan ayat ini kepada keluarganya, kepada para sahabat generasi awal? Dalam sebuah rumah yang atapnya terbuka pada langit. Sebuah rumah tempat para malaikat turun dalam barisan teratur, seolah-olah berdiri sebuah tiang cahaya yang menghubungkan antara rumah wahyu dan alam Arasy. Dalam rumah wahyu inilah seorang Fatimah az-Zahra tumbuh dewasa, sosok yang dalam pandangannya menyaksikan ayahandanya bersama dengan para malaikat. Demikianlah, sejak kelahirannya, kedua mata baginda Fatimah az-Zahra telah mendapatkan pancaran dari kilauan cahaya risalah. Pancaran cahaya yang kemudian menjadikan pandangan mata memiliki basirah; sebuah kenangan yang akan menjadi panduan sepanjang hidupnya. Ya, karena Fatimah juga siswa ayahandanya. Kehendaknya sejalan dengan keinginan ayahandanya; menjadi saksi bagi risalah yang diajarkan Rasulullah . Itu semua karena Fatimah az-Zahra adalah seorang Sahidi Kamil. Tetesan air matanya tidak sebatas tetesan air mata, melainkan sebuah kekuatan besar yang akan memandunya ke dalam sebuah ketetapan. Demikianlah apa yang Ayah ingin engkau pahami.” Saat serius dalam perbincangan seperti ini, tiba-tiba rombongan telah sampai ke Hulays. Hulays berarti Mekah. Sebuah 346 kota yang penuh warna hijau dengan kebun-kebun kurmanya, dengan danau-danau kecil, sumber mata air yang jernih.... Labbaik, Allahumma labbaik...! Labbaika laa syarika laka labbaik..! Innal hamda wanni’mata laka wal mulk...! Demikianlah seruan yang terdengar lantang dari rombongan yang mulai memasuki tanah Haram dengan mengenakan pakaian ihram serbaputih. Sejak saat itulah semua perbincangan dihentikan, semua perselisihan ditangguhkan. Demikain pula dengan perjanjian, perseteruan, dan perdagangan. Semuanya ditinggalkan. Tidak akan terucap dan keluar dari bibir selain perkataan salam, yang dari bukit-bukit di kejauhan terdengar gema menggetarkan seruan doa untuk mengetuk pintu Ilahi, dengan gema dari bukit- bukit yang seolah-olah serempak berkata silakan...silakan.... 347 - Kisah Keduapuluh Sembilan- Rahmat Hujan Rasulullah sangat menyukai hujan. Setiap hujan turun, Rasulullah dan sang putri akan berhujan-hujanan bersama. Namun, sudah sejak lama hujan tidak turun di Madinah. Pohon-pohon mengering dan ranting-rantingnya menengadah memanjatkan doa ke angkasa. Daun-daun pohon kurma juga telah mengering. Pelepahnya mengerut memanjang ke angkasa, terus memohon agar hujan diturunkan. Kian hari pelepah itu semakin mengering. “Kering karena tidak sanggup menahan kerinduan,” bisik orang-orang dengan nada khawatir. Ya, hamparan padang pasir menganga merindukan hujan. Puncak bukit-bukit menghitam terbakar terik mentari. Awan-awan terhempas kosong di angkasa. Jalan-jalan di tengah-tengah permukiman sedih. Khawatir kalau sampai malaikat pencatat hujan menghapus catatan hujannya. Para saudagar dan pedagang lelap dalam tidur di siang hari. Gelas-gelas dan cangkir di meja jamuan pun kering, merintih berharap air yang hendak dituangkan. Orang-orang yang sering pergi-pulang di antara pemakaman dan rumah semakin 348 ciut nyalinya, menganggap takdir kematian semakin dekat menjemputnya. Setiap benda yang terbakar mentari menjerit, mengaduh. Terlebih akan berkobarlah api saat benda, tubuh manusia, dan kata-kata mereka bertemu. Air sudah tidak ada lagi, seakan-akan sudah ditarik dari dalam perut bumi. Seolah-olah telah terpangkas urat nadinya. Mulut-mulut semakin menganga, bibir-bibir pecah di seantero kota Madinah; menantikan berita gembira adanya air dalam sumur-sumur yang juga sudah menjerit karena kekeringan. Ah... hujan, di manakah kau? Di manakah gerangan guyuran rahmat dari angkasa? Sumur-sumur, bejana, kendi, dan tembikar kering menantikan siraman, merintih karena kehausan. Saat itulah Hasan dan Husein menantikan kakeknya dengan penuh penasaran. Rasulullah tampak menerawang ke angkasa. “Aku juga tidak tahu,” jawab beliau penuh kerendahan hati ketika berbagai macam pertanyaan ditujukan kepadanya. Saat Rasulullah berdoa, bintang-bintang pun terjaga dari napasnya, siap siaga sembari memerhatikannya. Remang- remang cahaya di waktu subuh, terik mentari di waktu siang, keheningan di waktu asar dan menjelang malam, doa dan ibadah di waktu isya dan tengah malam. Semuanya disertai dengan permohonan agar hujan segera turun 349 ”Wahai Tuhan, Ya Maha Pemberi Rahmat…” demikian doa-doa dimulakan. Doa… doa... dan doa…. Curahan permohonan yang paling dalam dari lubuk hati yang terdalam setiap hamba kepada Sang Pencipta. Dan tiba-tiba.... Muncullah awan bernama gamama yang pernah memayungi Rasulullah mengajak beberapa teman lainnya untuk membawa rahmat dari Allah . Hasan langsung bisa mengenali temannya yang jauh di angkasa sana. Dirinya menganggap sang teman mirip seekor domba yang menghasilkan banyak air susu. “Gamama sudah datang, gamama sudah datang. Awan yang mirip dengan domba Kakek yang putih sudah datang bersama dengan teman-temannya.” Tik… tik... tik.... Mulailah turun bintik-bintik hujan dengan malu. Kini, malaikat pun telah menurunkan bintik-bintik air hujan itu ke tanah Madinah! Tik... tik... tik.... Seketika cuaca berubah. Awan-awan mulai terlihat berarak- arakan di angksa. Tik… tik… tik.... Akhirnya keremangan mendung robek bagai hamparan kain yang dipotong dengan gunting seraya menumpahkan air. Mulailah angkasa mengenakan jubah hujan yang penuh dengan rahmat. 350 Hujan mengguyur deras, berlarian menuruni bumi seperti kuda-kuda tunggangan yang dipacu dengan kencang, yang kemudian berubah menjadi sekawanan singa yang menggelegar mengeram di angkasa. Sambaran cemeti halilintar terus mengguyur bumi dengan limpahan rahmat. Dimulailah pesta kegembiraan! Para wanita mengeluarkan semua bejana yang ada di rumahnya. Mereka berjejal di jalanan untuk menangkap air hujan. Anak-anak pun tidak ketinggalan, ikut mencurahkan perasaan gembaranya menyambut kedatangan hujan. Mereka berlarian di sepanjang jalan. Di antara mereka ada dua anak yang paling mulia Hasan dan Husein. Fatimah az-Zahra pun ikut tersenyum, gembira memerhatikan keceriaan kedua putranya. Para wanita menengadahkan pandangan dan kedua tangannya ke angkasa memanjatkan puji dan syukur ke haribaan Ilahi. Semenara itu, para lelaki saling mengumandangkan salawat dan salam untuk baginda Rasulullah . “Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah menurunkan rahmat-Nya, Yang Maha Rahman, Karim. Ya Dzaljalali wal Ikram!” Dan tiba-tiba.... Terbukalah pintu rumah baginda Rasulullah . Wajah beliau tampak penuh kegembiraan, seperti paras nakhoda yang baru saja membawa kapalnya mengarungi samudra doa. Berkaca-kaca kedua mata Rasulullah dalam luapan puji dan syukur ke hadirat Allah . Beliau pandangi sekeliling dan memerhatikan dengan penuh kasih sayang anak-anak kecil yang sedang berlarian di jalanan. 351 Rasulullah pun ikut berbaur dalam kebahagian bersama mereka. Perlahan-lahan, beliau lepaskan ikatan serban yang melilit kepalanya yang mulia. Tangan kanan membuka lilitannya, sementara tangan kiri melepasnya. Anak-anak pun mulai berkerumun di sekelilingnya. Rasulullah membelai dan mengusap rambut anak-anak yang basah karena guyuran air hujan. Gembira hati Rasulullah . Senyum pun berkembang di wajahnya. Sementara itu, anak-anak membaca salawat di sekeliling Rasulullah , seolah-olah para malaikat yang sedang mengitari diri beliau. Fatimah tampak tersenyum dari kejauhan, memandangi keceriaan itu dari balik tirai rumahnya. Saat melihat putrinya, beliau memberi isyarat seolah-olah berkata, “Harus bagaimana lagi?” Fatimah memandang ke arah angkasa. Ia perhatikan tetesan hujan yang mengguyur bumi yang penuh dengan rahmat. Betapa maksum, tulus, dan murninya bintik-bintik itu tak bisa digenggam dengan tangan. Berucap salawat dan salam Fatimah dalam kejernihan dan kemurnian air hujan. "Perhiasannya perhiasan, nikmat yang paling agung, mahkota bagi manusia," katanya. Ia ulurkan tangannya untuk menggapai keindahan nikmat dari angkasa yang menebarkan wewangian surga. Fatimah masih terus berucap salam dalam kesegaran air hujan. Ia seolah-olah ingin membelai satu per satu bintik-bintik air hujan itu. 352 Selamat datang ia ucapkan pada guyuran air hujan yang baru saja diturunkan sebagai rahmat atas kehendak Allah Yang Maha Melimpahkan Rahmat. Fatimah juga berucap salam kepada malaikat yang mengenggam setiap bintik air hujan itu untuk diturunkan ke Bumi. Para malaikat yang bertugas membawa satu demi satu bulir-bulir hujan sampai ke bumi. Setelah selesai tugasnya, mereka kembali bersujud ke haribaan Ilahi. Terdengar oleh Fatimah bacaan puisi-pusi ini, melantunkan kemegahan dan keperkasaan Zat Yang Maha Menciptakan sebagai kasih sayang untuk sekalian umat manusia. “Hujan turun...! Hujan turun...!!!” teriak orang-orang dalam kailah. Hasyim pun segera berlari ke arah sumber suara. “Tuan Junaidy, guyuran rahmat turun pas saat kita memasuki tanah Mekah!” katanya meluapkan kegembiraan. Sementara itu, Husrev Bey menenangkan semua orang dengan sikapnya. “Sepanjang perjalanan kita telah memanjatkan doa kepada Allah agar hujan turun. Alhamdulillah, cepat sekali Allah menurunkan rahmatnya. Jadi, kita harus segera mendirikan Salat Syukur bersama-sama.” Abbas juga merasa sangat gembira. Ia memerhatikan Ramadan Usta yang melepaskan serban di kepalanya. Pakaian ihram yang dikenakannya pun basah. Dari rambutnya yang 353 memanjang sampai bahu menetes air dengan deras seperti keran yang baru dibuka. Beberapa saat kemudian, Ramadan Usta tersenyum ke arah Abbas dan Nesibe yang sedang memerhatikan dirinya. “Hujan adalah rahmat yang telah dilimpahkan oleh Allah .” Dari kejauhan, rombongan melambai-lambaikan tangan ke arah Baitullah yang sementara ini terlihat seperti permata hitam. Untuk beberapa saat rombongan berteduh di bawah pohon- pohon kurma sembari menghela napas, menikmati harum tanah kering yang tiba-tiba diguyur hujan. “Salam kepadamu, wahai tanah Mekah! Salam untukmu, wahai Mekah, ibu kota semua kota,” kata mereka. Sementara itu, suku Badui yang ikut dalam rombongan masih tidak menggantungkan panah dan busurnya ke punggung unta. Mereka turun seraya mengangkat panah dan busur itu seperti kesatria seraya berteriak lantang. “Salam untukmu, wahai Mekah!” Ucapan salam mereka khas, hingga kata Mekah terdengar menjadi Bakkah. Bakke, yang tidak lain adalah Mekah, merupakan kota paling suci dan mulia, warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka. Demikian Husrev Bey mulai membacakan syair terindah dari masa ke masa tentang kota Mekah. 354 “Jangan lupa! Jika berjalan dengan melihat ujung jari kakimu dan tanpa menengadahkan wajahmu, engkau akan memasuki Baytullah as-Syarif! Jadikanlah Baitullah yang pertama kali dilihat kedua matamu saat memasuki Mekah! Seorang hamba hendaklah menyadari dirinya sebagai hamba sehingga menjadi ahli tobat, selalu menatap ke depan, selalu pedih dengan semua yang menjadi kekurangannya. Basuhlah kedua matamu dengan guyuran air hujan ini sehingga dalam pandanganmu yang pertama akan terlihat rumah Allah ! Tanpa disadari, perjalanan seluruh umat manusia adalah untuk sampai ke tempat ini! Sekarang saatnya untuk bangkit, membersihkan diri dari segala kotoran, melepaskan diri dari rantai dunia yang mengikat jiwa,” kata Husrev Bey lantang. Ia kemudian menghampiri Nesibe yang juga basah kuyup bagaikan burung pipit yang kehujanan. “Coba perhatikan apa yang telah terjadi kepada kita. Takdir telah menggariskanmu untuk menjadi temanku dalam mengunjungi tanah Mekah ini!” Junaydi Kindi ikut menangis merenungi anugerah Allah yang telah dicurahkan kepadanya. “Jadikanlah kedua matamu selalu terjaga dan fokuslah dalam padanganmu, wahai Anakku! Semoga Ayahmu akan membawamu selamat sampai ke Baitullah!” kata Junaydi Kindi sembari satu tangannya merangkul Hasyim. “Wahai anak muda, temanku dalam perjalanan suci ini! Teguhlah dalam pendirianmu. Membina rumah tangga sepertinya telah hampir terlihat di masa depanmu.” 355 Sementara itu, Ramadan Usta masih terlihat lemas. Ia sama sekali tidak bisa bicara. Dirinya terus menangis merenungi anugerah Ilahi yang telah membawanya sampai ke Tanah Suci Mekah. Ia bersandar pada bahu Junaydi Kindi. “Sungguh sampai saat ini aku hampir tidak percaya kalau cinta akan tanah Mekah telah membutku bertekuk lutut tak berdaya seperti ini,” katanya kepada Junaydi Kindi. “Coba perhatikan bagaimana anugerah Ilahi telah tercurah kepadaku. Seorang dari Nijdewan bernama Ramadan telah terembus cinta ke dalam hatinya akan baginda Rasulullah . Kami datang ke haribaan-Mu, duhai Allah! Kami siap menunggu titah perintah-Mu! Sungguh, segala puji, limpahan nikmat, dan rasa syukur hanyalah pantas kami haturkan ke haribaan-Mu! Tiada tuhan yang berhak disembah melainkan diri-Mu, Tuhan bagi seluruh alam!” Demikianlah semua rombongan saling bergandengan tangan dalam keadaan hati yang papa, pedih dalam rasa syukur, beriring pertobatan yang dalam. Mereka berjalan tegopoh- gopoh memasuki Haram as-Syarif dalam guyuran air hujan. 356 - Kisah Ketigapuluh - Tawaf Mereka berhenti sejenak di Babus-Salam untuk bersiap- siap, menata diri. Basah kuyup sekujur tubuh mereka. Alas kaki pun mereka lepaskan. Sementara itu, seorang penjaga bertubuh tinggi besar yang berdiri di depan gerbang meminta mantel yang dikenakan para jemaah haji untuk kemudian dijemur di pematang di atas jajaran bebatuan. Ramadan mendekati salah satu penjaga itu dan kemudian mendekapnya dalam tangisan. Berulang kali ia cium tangan para penjaga itu untuk kemudian disentuhkan pada keningnya. Saat pertama kali melihatnya, para penjaga berkulit hitam ini tampak begitu garang. Ternyata, tanpa disangka, sang penjaga tiba-tiba menyambut tangan Ramadan Usta untuk ditarik ke arah dirinya seraya mengusapkan tangannya pada kepalanya yang basah oleh guyuran air hujan dan kemudian berkata, “Bersabarlah.” “Bersabarlah, Tuan Haji!” katanya. Kemudian, penjaga itu menoleh ke arah rombongan seraya berkata dalam wajah penuh senyum, “Ahlan wa sahlan, wahai para jemaah! Semoga haji dan umrah kalian mabrur!” Para rombongan diminta mengantre di belakang sang pemandu. Para jemaah lalu melafazkan takbir dan tahmid sembari berniat di dalam hati untuk menunaikan umrah lebih 357 dahulu. Jemaah pun menarik napas panjang untuk memperbarui napasnya sebagaimana para penyelam di pinggir pantai yang sebentar akan terjun ke laut untuk menyelam. Dengan mengucap bismillah, para jemaah melangkahkan kaki kanannya memasuki Baitullah. “Bismillahi walhamdu lillaahi wassalatu wassalamu ala Rasulillah!“ Para jemaah membungkuk bagai busur panah. Kedua mata mereka memandang ke bawah sembari terus melangkah dengan berpegangan satu sama lain pada batu atau tiang-tiang kayu untuk sampai ke dekat Baitullah. Sampailah mereka pada suatu tempat yang dipayungi tirai dan kain-kain penutup berwarna hitam. Setelah melewati sebuah daerah setengah lingkaran dengan alas terbuat dari karpet anyaman, mereka akhirnya sampai pada tempat yang penuh warna putih berlapis marmer. Meskipun tubuh para jemaah basah kuyup akibat guyuran hujan, hati mereka tetap senang, tenteram, bahkan belum pernah mereka rasakan hati seperti itu sebelumnya. Abbas berpegangan erat pada ayahnya. Ia sudah tidak kuat lagi bangkit karena rasa panas dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya bagaikan penyakit malaria. Sementara itu, Hasyim langsung jatuh pingsan. Dirinya sudah tidak lagi bertenaga. Husrev Bey terus berusaha mengangkatnya. Namun, karena dirinya sendiri juga seolah lumpuh, ia pun tak berdaya menopang Hasyim. Beberapa saat kemudian, Junaydi Kindi berkata, “Sampailah kita pada saat perjumpaan. Wahai para jemaah! Sekarang angkatlah wajah kalian semua dan nikmatilah anugerah yang telah dilimpahkan oleh Allah ,” katanya, yang diikuti semua orang dengan mengangkat wajah. 358 “Ini adalah Baitullah.” “Duhai Allah, ribuan puji dan syukur hamba haturkan kepada-Mu karena Engkau telah perkenankan diriku berkunjung ke rumah-Mu.” “Berkenanlah Engkau mengampuni dosa-dosaku, wahai Zat yang memiliki rumah ini.” “Apa pun yang telah Rasulullah panjatkan kepada-Mu dalam doa-doanya, kami juga memohon hal yang sama. Apa saja yang Rasulullah minta dari-Mu untuk menjauhkan diri darinya, kami juga memohon kepada-Mu untuk melindungi diri kami ini darinya.” “Kami semua berucap amin atas semua doa yang dipanjatkan oleh semua nabi dan rasul-Mu.” “Duhai Allah, anugerahkanlah kebaikan kepada kami, baik di dunia dan juga kelak di akhirat. Lindungilah diri kami dari azab dan panas api neraka. Wahai Zat Yang Maha Pengasih dan Penyayang, sungguh diri kami sangat membutuhkan kasih sayang-Mu. Masukkanlah kami ke dalam surga-Mu bersama dengan orang-orang yang mulia!” “Ya Tuhan, junjunglah kehormatan dan kemuliaan umat Muslim dengan ajaran agama-Mu. Lindungilah diri kami dari bencana dan kenistaan.” “Janganlah Engkau pisahkan diri kami dari iman dan Alquran. Ampunilah segala dosa dan kesalahan kami! Kami telah masuk ke dalam rumah-Mu untuk memohon ampunan- Mu. Limpahkanlah keselamatan kepada kami.” Seperti guyuran air terjun kata-kata yang mengalir dari lubuk hati saat khusyuk memanjatkan doa-doa kepada Allah 359 . Saat rombongan mendekati Hajar Aswad, mereka kembali menengadahkan tangan ke angkasa untuk berucap salam kepadanya sebanyak tiga kali. “Bismillahi Allahu Akbar.” “Aku berniat untuk tawaf demi mengharapkan rida Allah ,” demikian niat setiap jemaah di dalam hati seraya memulai ibadah tawaf di putaran pertama yang disebut dengan syaut. Tujuh kali jemaah akan mengitari lintasan tawaf yang membentuk lingkaran penuh pancaran nurani ini. Dan sungguh, kini mereka telah benar-benar berada di dalam lingkaran itu. Setelah beberapa lama menunaikan tawaf, jemaah pun berhenti dengan menyentuh sebuah pintu yang terletak di dekat Hajar Aswad. Pintu tersebut terbungkus kain hitam bertuliskan ayat-ayat Alquran dengan benang emas. Dengan peringatan dan arahan yang disampaikan para penjaga, para jemaah berhenti sejenak di depan pintu ini untuk menengadahkan kedua tangan dan berdoa. Meski dalam guyuran hujan, mereka mencium bau wangi yang sedemikian membuai. Seolah-olah tirai selimut berwarna hitam yang menutupi Baitullah di keempat sisinya ini merupakan selimut misik. Mereka berpegangan padanya, mendekapnya erat-erat. Untuk menghindari para penjaga, dikepunglah area di dekat pintu oleh jemaah yang berbadan besar. Para penjaga pun tidak bisa menerobos ke dalam lingkaran jemaah yang sedang dimabuk cinta kepada Sang Kekasih. Terbentuklah barikade cinta mengelilingi jemaah saat memanjatkan doa di sebelah pintu masuk Baitullah... 360 Bagaikan magnet, tubuh Abbas melekat ke dinding Baitullah, hanyut dalam tangisan dan doa. Sementara itu, para jemaah berbadan besar yang memagari sekelilingnya juga ikut mendengar dan merasakan jeritan tangis kepada Allah , sampai akhirnya Junaydi Kindi menarik Abbas dari lingkaran para penjaga. Setelah beberapa jauh melangkah, jemaah pun mendapati sebuah bangunan dari batuan yang membentuk setengah bulan. “Tempat ini adalah Hijr Ismail,” bisik Junaydi Kindi ke telinga Abbas. “Dekapannya Ismail.” Jemaah pun berduyun-duyun, bergandengan satu sama lain, serta saling bersandar dan menopang sehingga dapat bersama- sama memasuki Hijr Ismail. “Lihatlah ke atas,” kata Junaydi Kindi sembari menarik tangan anaknya. “Guyuran rahmat terkumpul dan dialirkan melalui cerobong air ini.” Abbas merasa seolah berada dalam mimpi. Ia masih termenung untuk beberapa lama. Pandangannya terbentur pada cerobong air dari kayu berlapis perak dan emas di ujung paling atas Baitullah. Ia renungi curahan air rahmat yang mengalir membasahi lantai Baitullah dari cerobong itu. Tanpa disadari, jiwanya seolah-olah basah hingga ruhnya menjadi begitu ringan. Hilang sudah semua kepenatan dan kotoran yang menghambat serta menindih jiwanya dalam seketika. Untuk beberapa saat, Abbas memerhatikan jemaah yang saling berebut agar dapat menunaikan salat di bawah aliran air 361 dari cerobong air itu. Mereka berharap dapat menghilangkan semua dosa dan kotoran dalam jiwanya. “Di bawah cerobong aliran air di Hijr Ismail ini terdapat sebuah tempat yang dinamakan pintu hajat’, Anakku! Segeralah kita ke sana. Tunaikanlah salat dua rakaat, kemudian bacalah Alquran dan curahkanlah segenap isi jiwamu ke haribaan Allah. Saat inilah kesempatan yang benar-benar telah datang di tangan kita. Jangan sampai engkau kehilangan. Semoga Allah berkenan membuka pintu pengampunan dan mengucurkan curahan berkah kepadamu,” kata Junaydi Kindi berbisik di dekat telinga Abbas. Saat itu, Hasyim sedang khusyuk bersujud tepat di bawah guyuran air dari cerobong atas Baitullah. Cukup lama ia tidak mengangkat wajahnya dan terus memanjatkan doa dalam tangisan yang terisak. “Kak Hasyim,” kata Abbas “Biarkan, jangan diganggu,” kata Junaydi Kindi kepada Abbas. “Sudah selama ini Hasyim merasakan jiwanya begitu lelah. Biarkan dia mencurahkan isi hatinya kepada Allah . Saat inilah kesempatan emas bagi dirinya yang jarang sekali dimiliki setiap orang untuk mencurahkan segenap isi hatinya kepada Allah .” Setelah ini, mereka tidak lagi saling bicara.... Setelah saat itu, seolah-olah tidak ada lagi hubungan antara ayah dan anak, teman dan temannya yang lain. Semua orang dalam keadaan menyendiri pada jiwanya masing-masing. Di dalam jiwa, mereka sebenarnya tidak sendiri. Setiap jiwa seolah telah terhempas menjadi butiran-butiran sekecil debu. Hanya 362 ada satu Zat yang selalu terpekik di dalam kesadaran jiwanya. Ia tidak lain adalah Zat Yang Mahakekal, seraya hanyut jiwanya yang hanya sebutiran debu itu ke dalam keesaan-Nya. “Hari ini adalah hari untuk maaf dan memaafkan! Hari untuk saling membuka hati sebagaimana Nabiyullah Yusuf membuka hati dengan bersikap baik kepada saudara- saudaranya,” demikian sabda Rasulullah saat memasuki kota Mekah setelah penaklukan. Genap sepuluh tahun sudah umat Mukmin berpisah dari kampung halamannya. Saat itu tidak hanya kota Mekah yang ditaklukkan, tapi juga jiwa manusia. Fatimah az-Zahra juga untuk pertama kalinya memasuki kota Mekah bersama dengan ayahandanya setelah sepuluh tahun. Ia memandang kampung halamannya dengan perasaan gembira bercampur kepedihan yang menyayat hati. Saat pergi berhijrah ke Madinah, hati Fatimah masih tertinggal di kota ini. Karena ibunda terkasihnya, Khadijah al-Kubra, masih bersemayam di sana... Di mana hati sang ibunda, di situ pulalah hati sang anak berada… Sungguh, entah apa saja yang telah berlalu dalam hati seorang Fatimah sepanjang masa itu. Terbayang seketika semua yang pernah dialaminya dalam rentang waktu itu seperti kabut yang melayang dengan cepat. Ia 363 seolah-olah kembali berada dalam perasaan seorang anak yang begitu bersemangat ingin segera menerangkan seisi hatinya kepada ibundanya. Ingin sekali Fatimah segera berada di samping ibundanya dalam satu tarikan napas. Sungguh, seandainya saja dirinya bisa menangis, seandainya saja dirinya bisa menerangkan kepada ibundanya mengapa dirinya menangis. Sungguh, seandainya dapat menangis dan menerangkannya, menerangkannya dan menangis... Seandainya saja dirinya bisa menunjukkan ini adalah Hasan... dan ini adalah Husein... Seandainya saja dirinya dapat merangkul ibundanya, mendekap tanah pemakamannya dengan curahan penuh kerinduan... Seandainya saja dirinya bisa menerangkan bahwa dirinya kembali lagi ke kampung halamannya dengan penuh kehormatan setelah lama diusir seolah-olah pengungsi perang, terlebih kembali dalam pangkuan Islam. Sungguh, seandainya saja dirinya dapat berbicara dan berbicara... menerangkan seluruh isi hatinya.... Meski di dalam hatinya penuh dengan guyuran banjir perasaan, seperti biasa ia tetap menunjukkan jiwa yang tegar di samping ayahandanya. Sampai saat sang ayah hanya bersama dengan putrinya, terpancar pandangan sang ayah yang begitu dalam sampai ke dalam jiwa Fatimah. Mereka berbicara dengan lisan jiwa yang menjadi rahasia bagi yang lainnya. Setelah peristiwa pada suatu malam, genap sepuluh tahun yang telah berlalu kini kembali lagi dalam sambutan selamat datang. Seolah-olah perjalanan kehidupannya seperti 364 burung merak, menyembunyikan sayapnya untuk kemudian mengepakkannya dengan penuh keindahan. Demikianlah perjalanan waktu yang berlalu di Mekah. Dan kini, mentari Baitullah telah terbit. Fatimah pun dipeluk saat memasuki kota Mekah, yang mengingatkan pada aroma ibundanya. Semerbak aroma Khadijah dalam wangi melati, misik, mawar meruap dalam diri Fatimah. Kembali saling memandang ayah dan putrinya. Saat itu, tak seorang pun tahu kata-kata yang terucap dalam pancaran kedua matanya. Kepedihan hati menyertai senyum dalam bibir, yang telah membuat wajah Rasulullah memerah dan urat nadi di wajahnya terlihat. Beliau terus memandangi putrinya. “Di sinilah tempat tinggal kita yang pertama,” sabdanya dengan suara yang cukup untuk terdengar di semua telinga. Tersebarlah perintah untuk segera melakukan penaklukan ke telinga semua pasukan. Mulailah terlihat pergerakan. Semua orang berlari. Para kesatria turun dari kuda tunggangannya dan diikuti pasukan yang selalu mengontrol barisan agar dapat selalu berada dalam kelompok. Ya, karena perintah datang dari Rasulullah , seorang yang paling benar perkataannya, yang melesat bagaikan pedang tajam terhunus dari kerangkanya. Kata-kata yang membuat para sahabat tidak mungkin berpaling darinya meski harus mengorbankan jiwa dan raga. 365 Segera pasukan berhenti di tempat yang diperintahkan. Para pemimpin barisan berlarian mengecek barisannya untuk menyampaikan perintah yang baru saja mereka terima. Tidak ada satu orang pun yang teperdaya oleh nafsu sehingga keluar dari barisan untuk berlari mengunjungi rumah, pekarangan, dan kebun yang telah mereka tinggalkan sepuluh tahun lalu. Para sahabat bersabar dan yakin dengan apa yang telah Rasulullah perintahkan. Iman telah menjadikan perintah Rasulullah terpaku di dalam jiwa mereka. Pasukan terdekat yang berada di sekeliling Rasulullah bertanya apa yang diinginkannya. “Mengapa Rasulullah berhenti untuk menempati suatu tempat setelah sepuluh tahun berlalu?” Rasulullah pun menunjuk dengan tongkatnya ke arah sebuah bukit. “Khadijah, putri Khuwaylid, bersemayan di tempat itu.” Semua pandangan pun tertuju ke arah bukit Hajun. Tampak dari kejauhan pepohonannya yang hijau rindang. Bukit Hajun seolah-olah menjadi Khadijah dan hendak berjalan. Kemudian, Rasulullah kembali memandangi putrinya. Beliau saling berpandangan dalam bahasa yang tidak diketahui seorang pun. Saat Fatimah mendapati kedua mata Rasulullah berkaca- kaca, seketika jiwanya menjadi seperti lautan yang mengguncang dengan gelombang kencang. Dalam hatinya tebersit keinginan untuk segera menghadap ayahnya, mendekap erat-erat dan menangis sejadi-jadinya. Namun, jiwanya yang selalu menjaga kehormatan telah mencegahnya. 366 Fatimah melangkah pasti, penuh dengan kehormatan, mendekati Rasulullah seraya mencium tangannya. Sang ayah pun meneteskan air mata yang memancar bagaikan mutiara jatuh ke dalam tangannya. Seandainya saja orang-orang dapat melihat apa yang terjadi saat air setetes itu berada dalam genggaman tangan Rasulullah yang mulia, niscaya mereka akan mendapati luapan hamparan air seluas samudra. “Ibunda kita, Khadijah, telah bersemayam di sini,” sabda Rasulullah seraya membelai rambut putrinya. “Ibunda kita, Khadijah....” Ibunda seluruh kaum Mukmin. Seorang ibu yang sangat dikenal Malaikat Jibril. Seorang ibu yang menjadi hamparan samudra kasih-sayang, yang kepadanya wahyu turun untuk menyampaikan salam. Seorang ibu yang meluap iman dan kesetiaannya, mengubah padang pasir menjadi hamparan lautan. Seorang ibu yang menjadi tempat persinggahan pertama saat Mekah ditaklukkan. Ya, karena Mekah adalah Khadijah. Saat mereka tidak ada, seorang diri Khadijah menunggu dengan setia. Dialah Khadijah al-Kubra, ibunda Makkah al- Mukarramah. Dia ibarat titik dalam huruf ba yang mengawali frasa bismillah... Beliau memandang ke arah putrinya. Stempel telah dibubuhkan. 367 “Kita akan bermukim di sini....” Kemudian, para sahabat berduyun-duyun untuk berkerumun seperti sekawanan lebah madu untuk segera bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju Kakbah as-Syarif. Para sahabat berwudu dengan air kota Mekah. Fatimah az-Zahra tampak masih berdiri. Kedua tangannya membawa handuk, menunggu untuk diberikan kepada ayahandanya. Fatimah adalah tirai yang melindungi sang Nabi . Ia bagaikan bening kristal yang menutupi lentera cahaya kenabian yang menjadikan Fatimah bercahaya bagaikan bintang-bintang. Ya, karena dia adalah bintang bagi ayahandanya. Kemudian, Rasulullah melangkah menuju Kakbah dengan hentakan kaki yang penuh dengan keyakinan. Saat itulah para malaikat berduyun-duyun menuruni bumi. Mereka memenuhi Haram as-Syarif. Fatimah adalah tirai yang melindungi sang Nabi . Ia bagaikan bening kristal yang menutupi lentera cahaya kenabian yang menjadikan Fatimah bercahaya bagaikan bintang-bintang. 368 “Telah datang kebenaran, lenyaplah kebatilan,” demikian sabda Rasulullah mengutip ayat Alquran seraya menghancurkan semua berhala yang ada di luar dan dalam Kakbah dengan tongkatnya. Beberapa saat kemudian, saat baginda Rasulullah keluar dari balik tabir, seluruh kaum Muslim telah menunggunya. Mereka serempak berucap kata- kata yang sama. “Labbaik! Ya Allah...!!!” Tawaf pertama pun dimulai. Hajar Aswad disapa dengan tangannya. 369 - Kisah Ketigapuluh Satu- Abrar “Rabbanaa aatina iddunya hasanah wa il aakhiroti hasanah waqinaa adzabannaar… wa adkhilnal jannata ma’al abror. Yaa Aziiz… yaa Gofar.” “Duhai Tuhan kami, limpahkanlah kebaikan kepada kami, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat! Lindungilah kami dari azab api neraka. Masukkanlah kami ke dalam surgamu bersama dengan hamba-hamba yang berbuat baik. Wahai Tuhan Yang Mahaagung, Maha Pemaaf!” “Bismillahi Allahu Akbar!” “Bismillahi Allahu Akbar!” “Bismillahi Allahu Akbar!” Kini anak panah telah melesat dari busurnya. Para sahabat berduyun-duyun mengikuti Rasulullah melesat menuju arah titik pusat tawaf. Dalam keadaan seperti itulah Fatimah terlihat memancarkan cahaya, pertanda dirinya dari hamba terbaik. Ia bagaikan bintang yang dengan cepat dan terang melesat menuju ke arah Baitullah dalam lingkaran kumparan iman, mengikuti di belakang sang ayah bersama kaum Mukmin yang lain. Rahasia yang menjadikan Fatimah menjadi hamba terbaik juga telah dirasakan sang suami. 370 Pada waktu itu, hati keduanya dalam keadaan lapang, terlepas dari segala bentuk kepedihan yang selama ini diderita. Semuanya mereka tinggal, baik di belakang maupun masa depan. Qadar, yang menyetir manusia dari suatu keadaan ke keadaan lain, seakan-akan aliran sungai di dalam rumah Allah lenyap seperti ditumpahkan ke dalam hamparan lautan. Waktu pun mencair menabrak dinding-dinding Baitullah. Awan datang dan pergi, burung-burung hinggap dan kemudian terbang kembali. Umat manusia tiba silih berganti, peperangan dan perdamaian saling mengisi. Rumah-rumah, perkampungan, dan kota-kota didirikan satu per satu untuk kemudian dihancurkan lagi. Demikianlah, semua yang ada datang dan kembali sirna, berpindah, bagaikan tepung tersaring dalam ayakan dan kemudian terhempas, lenyap di udara. Semuanya, segalanya.... Setiap aliran sungai, baik yang deras maupun lemah, baik di bumi maupun langit, seolah-olah menghilang tanpa bekas saat alirannya menyentuh dinding-dinding Baitullah. Hilang tanpa bekas, lenyap dalam kehampaan. Terminum hingga terhampar semua sampan ke dalam lautan, yang semuanya hanya mampu mengucap takbir di hadapan Zat Yang Maha'azim dan 'Aziz. Di sana ada sebuah mata, sebuah nazar yang selalu menatap setiap kaum Mukmin yang melewatinya. Dialah Hajar Aswad. Saat rumah Allah itu dibangun, dua orang, ayah dan putranya, batu yang kurang untuk kehidupan umat manusia itu segera diturunkan malaikat dengan mengepakkan sayapnya. “Biar para malaikat juga ikut andil dalam pembangunan rumah Allah ini.” Demikianlah tertulis dalam buku catatan. Ya, hal itu juga menjadi nasib mereka. Seperti kornea mata, batu putih nan lembut itu, malu ia rasakan terhadap semua 371 tindakan yang disaksikannya di muka bumi ini. Pembangkangan, pertumpahan darah, kebencian, dan permusuhan adalah perbuatan yang semakin membuatnya begitu malu. Sangat malu, tidak tahu harus menaruh muka di mana sehingga batu pun merah padam dalam seketika. Kemudian, semakin meluap kepedihan di dalam hatinya sampai-sampai batu itu pun menjadi hitam legam, pedih dalam cinta yang begitu mendalam. Bukan hanya malu, melainkan juga karena tidak kuasa menahan kerinduan. Karena perpisahan... karena diturunkan... karena menjadi tercerai hidup dalam perjalanan perantauan. Ia adalah isyarat, pertanda, dan sebuah mata. Kepada setiap yang menyalaminya, hatinya bagaikan jam dinding. Ia diatur menurut para hamba yang mulia. Itulah Hajar Aswad. Lembaran cinta buta. Tercatat di dalamnya nama-nama manusia. Dan batu cinta buta itu mengetahui semua orang dari sidik jarinya. Dalam catatannya, dirinya teringat sebuah kisah hingga ia pun kembali berputar dalam tawaf. Ada sebuah keluarga yang duduk dan menunggu.... Hasan dan Husein adalah tuan para penghuni surga. Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Husein pun menderita sakit. Demam dan panas badannya. Ia merengek-rengek saat diseka dengan kain yang telah ibundanya benamkan ke dalam sebuah panci. Kain itu diamkan begitu saja untuk beberapa lama, ditunggu penuh dengan perasaan khawatir, bingung. Akhirnya atas kehendak Allah Yang Maha Penyembuh, putra Fatimah itu pun kembali sehat seperti sedia kala. Orang-orang tua yang berkunjung untuk mengucapkan doa membelai kepala sang putra yang telah kembali sehat. Mereka menyarankan berpuasa nazar. Fatimah yang telah mendapatkan 372 pendidikan untuk selalu menjunjung tinggi orang yang lebih tua akhirnya bersepakat dengan sang suami, bahkan mengajak Fidd yang menjadi pembantunya untuk ikut dalam lingkaran ibadah puasa. Mereka juga berniat memotong hewan kurban dan menunaikan puji syukur ke hadirat Allah . Sahabat Ali adalah komandan, seorang alim, dan juga ahli kebaikan. Setelah bekerja untuk menafkahi keluarganya dengan jalan halal dengan menimba air untuk mengairi tanaman kurma di salah satu perkebunan di Madinah, mulailah ia melangkahkan kedua kakinya menuju rumah dengan memanggul setengah karung biji gandum agar dapat segera digiling bersama dengan sang istri. Dengan keahlian mengolah adonan gandum yang didapatkan dari pendidikan ibundanya, Fatimah segera menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Berkumpullah satu keluarga untuk berbuka puasa. Hasan dan Husein juga membantu ibundanya menyiapkan beberapa biji kurma ke dalam satu mangkuk kecil dan air putih. Inilah hidangan berbuka puasa yang begitu sederhana. Manusia dan para malaikat pun seakan tidak tega melihatnya. Hidangan yang di mata dunia hanya sebatas roti kering, air putih, dan beberapa biji kurma. Namun, dalam dimensi batiniah, mungkin hidangan ini semewah jamuan makan yang disuguhkan baginda Ibrahim . Ya, karena keluarga ini sama sekali tidak memberi arti pada hidangan dunia. Mereka lebih mengutamakan jamuan kelak di alam surga. Waktu berbuka puasa tinggal beberapa saat lagi. Saat itulah datang seorang mengetuk pintu rumah Ahli Bait. Pintu itu memang setiap saat selalu terbuka untuk siapa saja yang hendak mengetuknya. Bagaimana mungkin pintu itu dapat tertutup karena itu adalah pintu kasih-sayang. 373 Mereka pun membuka pintunya meski sebelumnya selalu terbuka. “Persilakan tamunya masuk,” demikian perintah Ali. “Semoga salam selalu tercurah kepada Ahli Bait,” ucap seorang papa yang mengetuk pintu. Keadaannya sangat memprihatinkan, lemas dan tak berdaya saking laparnya. “Aku berharap keluarga Ahli Bait memiliki sedikit makanan untuk diriku yang miskin dan papa ini. Sungguh, diriku sangat lapar sekali...,” katanya gemetar. Sang komandan Allah, dengan pendirian yang kokoh bagaikan gunung es, segera menyambut sang tamu “Keluarga Ahli Bait menjawab salam dari Allah , teriring dengan ribuan doa semoga Anda mendapatkan balasannya, wahai saudaraku yang mengetuk pintu.” Sahabat Ali menoleh kepada sang istri. Fatimah rupanya juga telah menunggu tamu dengan tebaran senyuman bagaikan warna-warni bunga-bungaan di musim semi. Silakan masuk...,” kata Fatimah tanpa sedikit pun ragu. Ia segera mengumpulkan semua hidangan yang telah tersaji untuk segera diberikan kepada sang tamu yang sedang menunggu di depan pintu. Fatimah pun kemudian menoleh ke arah dua putranya Kedua putranya yang telah menunggu sang ibu dalam hidangan berbuka puasa tersenyum seraya berkata, “Hidangan berbuka puasa kita sudah lebih dari cukup dengan beberapa biji kurma dan air putih ini, Ibu.” 374 Demikianlah keadaan keluarga Ahli Bait di hari pertama berbuka puasa. Hari kedua.... Saat itu Ali sedang mencari nafkah di perkebunan kurma. Ali bekerja dengan menimba air untuk menyirami tanaman kurma dan mengumpulkan kayu bakar untuk mendapatkan rezeki sebatas kecukupan pada hari itu dengan cara yang halal. Lagi-lagi beberapa biji kurma dan beberapa potong roti kering yang didapatkan. Terhadap nikmat tersebut, Hasan dan Husein kembali bahagia dalam luapan rasa syukur. Mereka duduk mengelilingi hidangan menunggu waktu berbuka puasa tiba. Pada saat itulah pintu Ahli Bait kembali diketuk. Tidak lain tidak bukan, yang mengetuk adalah hamba yang jiwanya sedang butuh pertolongan. Hasan dan Husein yang membukakan pintu ternyata mendapati sang tamu adalah bocah yatim yang hampir sebaya dirinya. Ayahandanya telah syahid dalam medan perang. Tamu itu pun segera berucap salam seraya mengutarakan maksud kedatangannya. “Aku sangat lapar...,” katanya dalam wajah tertunduk. Keadaan anak yatim ini laksana belati tajam yang telah menusuk jantung Syaifullah atau Sayyidina Ali yang tidak pernah tertunduk di tengah-tengah medan perang. “Wahai putra paman!” kata Ali sembari merangkul sang tamu. “Siapakah dari kita semua ini yang tidak mengarungi samudra yatim, wahai putra paman!? Ketahuilah bahwa membuat tersenyum hati anak yatim yang sedang bersedih adalah anugerah yang tidak bisa dibandingkan dengan nikmat dunia.” 375 Ahli Bait pun memberinya hidangan yang ada tanpa sedikit pun merasa ragu, bimbang. Tanpa sejenak pun menundanya. Hasan dan Husein pun juga ikut menyambutnya sambil tersenyum dan mengajak anak yang yang menjadi tamunya tertawa dengan bercanda. Ya, memberi adalah jiwa Ahli Bait. Seolah-olah memberi adalah rima puisi bagi Ahli Bait. Di hari yang ketiga, Ahli Bait berbuka puasa hanya dengan air putih. Pada hari ketiga inilah, seluruh anggota keluarga tahu kalau sesaat lagi pintu akan kembali diketuk. Mereka memandang satu sama lain seolah-olah telah tahu akan kedatangan para malaikat untuk menghormati kemuliaan jamuan berbuka puasa. Hal itu benar-benar terjadi! Kali ini yang mengetuk pintu adalah seorang yang sudah sebatang kara dan hidup dalam kemiskinan. Ahli Bait adalah keluarga yang menggantikan nafsunya bagi siapa saja yang lapar. Untuk yang ketiga kalinya, Ahli Bait telah merelakan nafsunya. Setelah sang tamu sudah hilang rasa laparnya, ia berdoa, mengutarakan maksud hatinya. Ahli Bait pun menyuguhkan hidangannya. Mereka merelakan apa yang menjadi kebutuhannya. Petuah agama telah mengajari mereka bahwa siapa yang tidak memberikan apa yang dicintainya, ia tidak akan mencapai martabat untuk berbuat kebaikan dengan sebenarnya. Ahli Bait adalah keluarga yang sempurna ketaatannya terhadap apa yang diajarkan Sang Pencipta. Ahli Bait memberikan apa yang menjadi kebutuhannya, apa yang dicintainya. 376 Setelah hari ketiga, Ahli Bait hanya dapat berbuka puasa dengan air putih. Setelah selesai berbuka, Ali membawa Hasan dan Husein berkunjung ke rumah Rasulullah . Demikianlah, berbuka puasa yang sesungguhnya adalah perjumpaan mereka dengan Rasulullah , saling berbagi, dan mendapatkan pancaran curahan cinta-kasih darinya. Puasa seakan-akan kisah mereka sepanjang hayat, sementara berbuka puasanya adalah berjumpa dengan baginda Nabi . Mereka adalah hamba yang memahami bahwa berbuka puasa yang sebenarnya adalah dengan menaati apa yang telah diperintahkan wahyu. Hanya saja, secara itrah tubuh mereka dicipta dari tanah sehingga mereka pun merasakan kelelahan karena terus-menerus berpuasa selama tiga hari dan berbuka hanya dengan air putih. ... siapa yang tidak memberikan apa yang dicintainya, ia tidak akan mencapai martabat untuk berbuat kebaikan dengan sebenarnya... “Bagaimana keadaan Fatimah?” tanya Rasulullah awalnya. Beliau selalu ingin tahu keadaan putrinya, belahan jiwanya. “Sedang sedikit tidak enak badan, ya Rasulullah,” jawab Ali. “Ayo kita mengunjunginya,” jawab Rasulullah mencurahkan segenap lautan jiwa kasih sayangnya. “Ayo kita mengunjunginya.” 377 Begitu tuan seluruh makhluk di jagat raya bersabda ayo kita menengunjunginya’, tidakkah para malaikat pun akan berlari menyertainya? Rajanya para malaikat, Jibril , juga akan datang di samping Rasulullah . Membacakan wahyu Allah seraya menyanjung dan memberi ucapan selamat kepada Ahli Bait. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan para tawanan. Sungguh, kami memberi makanan kepadamu hanya untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sungguh, kami takut akan azab Tuhan kami pada suatu hari yang di hari itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutra… Quran surah al-Insan ayat 7-12 378 Ali dan Fatimah tumbuh dewasa dalam rumah wahyu. Suatu hari, mereka memiliki uang empat dirham. Mereka pun berpikir cara menyedekahkannya. Akhirnya, mereka berniat menyedekahkan satu dirham dengan sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang tahu. Satu dirham lagi akan disedekahkan terbuka, dengan diberikan secara langsung kepada orang yang membutuhkannya. Satu dirham lainnya diberikan di siang hari. Dan satu dirham terakhir disedekahkan di waktu malam seusai magrib. Rasulullah bertanya alasan bersedekah dengan cara seperti itu. “Bukankah tidak pasti, ya Rasulullah! Kami berharap salah satu dari uang yang kami sedekahkan dapat dikabulkan Allah sehingga kami mendapatkan keridaan-Nya,” kata Ali. Mendengar jawaban itu, Rasulullah sangat bahagia dan bangga dengan mereka. Tidak lama kemudian, datang berita dari langit. Wahyu pun turun. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara sembunyi dan terang-terangan maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Quran surah al-Baqarah ayat 274 379 - Kisah Ketigapuluh Dua- Mikraj Dengan penuh kegembiraan, Hasyim memasuki Hijr Ismail. Tempat ini seperti lingkaran cinta, sebuah taman yang masih berada di dalam Baitullah. Ia adalah tamannya hati. Taman yang meluap dari dalam Baitullah laksana jiwa yang dirundung kerinduan akan cinta. Taman ini juga mengembuskan udaranya, meruapkan kesyahduan gumam doa-doa yang dipanjatkan kaum Mukmin. Berdoa dengan sekujur badan seolah-olah menempel, tertarik dinding magnet Baitullah. Seakan-akan dinding itu dirajut dengan panjatan doa seluruh kaum Mukmin. Hasyim pun mengulurkan tangannya ke dinding Baitullah yang wangi itu. Ia ulurkan tangannya sampai masuk, menembus ke dalam Baitullah. Hasyim memanjatkan doa di dalam Hijr Ismail dengan khusyuk. Ia rasakan dirinya sedang berada di hamparan bendungan yang penuh dengan air jernih dan bersih. Saat itulah Hasyim dengan perlahan memerhatikan sebotol air yang telah disimpannya sejak lama. Dalam keadaan khusyuk, Hasyim teringat semua pelayaran kehidupannya di masa lalu. Sejarah kehidupan yang tertuang dalam buku catatan hariannya yang sudah lusuh, dengan bunga-bungaan yang sudah mengering, terhimpit di antara halamannya. Dengan amanah jubah suci’, ia sejak kecil telah menghabiskan kehidupannya untuk mengabdi 380 kepadanya dalam suasana kehidupan di pesantren dengan remang-remang lentera yang menerangi setiap malam. Dari kehidupan pesantren yang dingin saat datang musim salju itulah Hasyim memiliki sebuah jendela untuk kehidupan ini. Sebuah jendela kehidupan seorang remaja yang selama ini telah direlakan tertinggal di kampung halamannya. Hanya ibundanya yang menjadi saksi betapa Hasyim begitu pedih dan sedih. Pada saat-saat itulah jiwa seorang ibu begitu terkoyak. Ia mencoba bangkit menemani jiwa putranya, meski sebatas remang lentera. Dan malam-malam yang penuh kepedihan itu, dalam remang- remang pancaran cahaya lentera itu, Hasyim terus menangis memerhatikan jendela kehidupannya. Sungguh sangat aneh. Saat di Hijr Ismail itulah tiba-tiba terbayang kehidupan ibundanya. Ia rasakan saat itu seolah-olah sedang berada dalam pelukan sang ibunda. Dengan bersandar pada dinding Kakbah, Hasyim merindukan ibundanya. Aura ibundanya seakan-akan meresap ke dalam sekujur tubuhnya saat berdoa di Hijr Ismail. Tebersit sebuah kata yang muncul dari jiwanya berupa dekapan ibu’. Dekapan Baitullah saat itu ia rasakan seperti dekapan seorang ibu. Ya, sebuah tempat di sudut Hijr Ismail disebut sudut cinta’, sekaligus sudut jiwa. Jiwa seorang ibu, jiwa seorang Fatimah az-Zahra, jiwa seorang Khadijah al-Kubra, jiwa seorang Hajar, ibundanya kaum ibu. Rentangan bangunan Hijr Ismail seperti kedua tangan ibu yang mendekap anaknya. Mendekap untuk menyematkan jiwanya ke dalam pelukan Baitullah. “Tempat ini penuh dengan curahan rahmat-Nya,” kata Hasyim dalam hati. 381 Ia seolah-olah merasakan dirinya berada di atas air. Ia perhatikan jemaah yang berebut tempat untuk menunaikan salat di tempat yang mulia ini. Hasyim tersenyum melihat kedaan mereka. Dirinya luluh dalam rahasia kekuatan cinta yang ditunjukkan laku kaum beriman itu. Semua orang menangis di sudut cinta ini. Masing-masing telah meluapkan kegembiraan, kesyahduan perjumpaan dengan kekasih yang telah lama dirindukan. “Sudut ini adalah sudut perjumpaan,” kata Hasyim kemudian. Seluruh kaum Mukmin berbondong-bondong berebut memasuki Hijr Ismail bagaikan guyuran anak panah. Doa bersahut-sahutan terdengar seperti saling bergumam, seolah- olah bulu lembut yang dipasang di pangkal anak-anak panah itu sehingga melesat. Kecepatan anak panah cinta itu semakin bertambah, melesat dengan ucapan amin’ yang terdengar serempak dari bibir-bibir mereka yang khusyuk, yang sering kali terdengar seperti suara kumbang dalam lantunan doa dan tangisan pilu. Bagaikan jantung, Hijr Ismail berdetak. Tempat ini laksana lautan yang penuh ombak. Lautan yang meluap dengan linangan air mata. Mungkin saja mutiara Baitullah yang terindah terdapat di dasar lautan Hijr Ismail ini. Hasyim kembali menengadahkan wajahnya. Ia kembali termenung mengarungi kedalaman lautannya. 382 Pada suatu malam, saat baginda Rasulullah berada dalam keadaan antara tertidur dan terjaga, Allah telah membawanya ke tempat yang begitu jauh di malam Isra. Pada tahap pertama, perjalanan yang juga telah diterangkan di dalam Alquran ini mengunjungi Masjid al-Aqsa di Palestina yang menjadi kiblat pertama seluruh umat Muslim. Dari sini, Rasulullah akan diperjalankan lagi naik sampai ke langit ketujuh dan memasuki Sidratul Muntaha. Di depan dinding Aqsa Baitullah, Junaydi Kindi membacakan surah al-Isra kepada anaknya, Abbas. “....” Dengan malam Isra dan Mikraj, Rasulullah dan putrinya, Fatimah, sekali lagi mendapatkan bukti bahwa dukungan Allah akan selalu bersama dengan utusan-Nya setiap saat, meski dengan kejadian buruk di haif dan Mekah. Hati Rasulullah yang begitu sedih terhadap pemboikotan atau blokade orang- orang Mekah dan haif kini telah menjadi lega dengan mukjizat ini. Hati Rasulullah dan Fatimah pun menjadi lapang dan tenang. Junaydi Kindi menerangkan kisah Isra dan Mikraj dengan suara lirih, seolah-olah bersama Abbas telah mengalami mikrajnya sendiri. “Fatimah az-Zahra,” kata Junaydi Kindi tidak kuasa menahan tangis. “Fatimah ikut merasakan kepedihan dan keletihan memikul tugas kenabian yang diemban ayahandanya, apalagi dengan perjalanan Isra dan Mikraj ini. Kaum kair Quraisy pasti tidak ingin Rasulullah menyampaikan pesan Isra dan Mikraj kepada para penduduk Mekah. Karena itu, keluarga Rasulullah tidak 383 ingin hati beliau tersakiti. Benarlah yang terjadi kemudian. Abu Jahal bersama teman-temannya yang tidak percaya dengan peristiwa tersebut balik menertawakan. Mereka bahkan berani menguji beliau yang selama itu memang belum pernah pergi ke al-Quds. Mereka menanyakan jumlah pintu dan jendela Masjid al-Aqsa. Namun, setelah Rasulullah dapat menjawab pertanyaan ini dengan pertolongan Allah, orang-orang Quraisy sangat kaget dan kemudian menyangkalnya dengan mengatakan bahwa ini adalah permainan sihir. Ahh… betapa mereka adalah orang- orang yang tidak tahu diri! Mereka telah menutup hatinya pada kebenaran. Rasa putus asa telah menyelimuti jiwa mereka dan menyeretnya ke dalam kegelapan. Padahal, bagi orang Mukmin, sama sekali tidak ada celah untuk hidup berputus asa, Anakku! Perhatikan baik-baik hal ini...” Junaydi Kindi terus bercerita tentang malam Isra dan Mikraj dengan suara lirih sambil berjalan pelan sampai tidak terasa kalau akhirnya mereka telah sampai di sebuah pojok di Rukun Yamani. “Pojok ini adalah sisi Baitullah yang menghadap ke arah Yaman,” kata Junaydi Kindi seraya berucap salam sembari mencium Baitullah bersama dengan anaknya, Abbas. “Betapa sisi ini begitu bersinar laksana kilau gelang emas, Ayah!” “Iya, Anakku! Karena kita telah kembali kepada dinding para hamba yang abrar! Menelusuri dinding ini akan membuat 384 kita kembali bertemu dengan Hajar Aswad. Dengan demikian, kita sudah akan menyelesaikan perjalanan satu putaran. Kamu katakan mirip gelang emas, bukan? Ya, karena dinding yang bermula dari Rukun Yamani sampai dengan Hajar Aswad selalu bersinar seperti gelang emas alam Arasy yang mulia. Rabbana aatina iddunya hasanah. Wail akhirati hasanah. Waqina adzabannar. Birahmatika ya arhamarrahimiin... wadhilna jannata ma’al abrar. Ya Aziz ya Gafar!” Bersamaan doa itu, hati Abbas kembali terbuka pada kenangan atas para hamba abrar atau mulia. Ia rasakan seolah-olah ada sebuah keluarga yang sedang berkerumun memerhatikannya di tempat itu. Mereka adalah para keluarga abrar. Dan ibunda dari keluarga itu adalah baginda Fatimah az-Zahra. “Ya Tuhan,” kata Abbas... “berkenanlah Engkau menjadikan Ibu dan Nenekku ke dalam golongannya hamba-Mu yang abrar. Jadikanlah ibuku teman dan tetangga bagi baginda Fatimah az- Zahra!” Kata gelang emas yang terucap dari mulut Abbas saat melewati dinding itu telah mengingatkannya pada sebuah kisah yang pernah diceritakan neneknya. Suatu hari, Rasulullah mengutus seorang sahabat untuk mengantarkan seorang ibu yang sudah tua dan papa ke rumah putrinya. Sahabat yang diminta untuk mengantarkannya adalah Abu Dzar. 385 “Ya Abu Dzar, bisakah tolong antar ibu ini ke rumah Fatimah!?” “Ibu, Ayah, dan nafsuku rela hamba korbankan untukmu, ya Rasulullah ! Baik, akan segera saya antarkan ke rumah Fatimah.” Beberapa saat kemudian, sampailah mereka ke rumah Fatimah az-Zahra rha. “Wahai putri Rasulullah! Ayahanda Anda meminta agar tamu yang sudah tua ini diperkenankan mencukupi kebutuhannya di rumah Anda! Mohon Anda berkenan merawat dan melindunginya!” “Baik, silakan masuk!” Demikianlah sikap Ahli Bait. Mereka selalu menerima para tamu dengan senang hati. Mereka telah menyadari bahwa setiap tamu yang datang ke rumahnya adalah tamu Allah . Fatimah pun menjamu dan membahagiakan tamu yang sudah tua itu. Sampai-sampai, setelah kedua putranya yang masih kecil lelap dalam tidur, ibunda Fatimah mengambil selimutnya untuk diberikan kepada sang tamu. “Wahai tamu yang diutus Ayahandaku! Mohon berkenan menerima selimut ini agar engkau dapat memenuhi kebutuhanmu!” kata Fatimah. “Wahai putri Rasulullah yang dermawan dan memiliki ahlak mulia, sungguh diriku adalah seorang yang sudah tua dan papa. Bagaimana dengan selimut ini aku bisa memenuhi kebutuhanku?” “Wahai tamu mulia yang diutus dengan salam dan pesan dari utusan Allah yang mulia, engkau benar. Namun, 386 apa yang mungkin bisa aku perbuat sehingga diriku dapat membahagiakanmu? Karena engkau telah datang dengan salam dari ayahandaku yang mulia, entah apa yang bisa engkau terima... entah apa yang bisa engkau terima....” Demikianlah. Fatimah az-Zahra terus berkata-kata mencari sesuatu di dalam rumahnya yang bisa diberikan kepada tamu itu. Akhirnya, Fatimah az-Zahra mengeluarkan sebuah gelang emas dari tangannya.. “Apakah mungkin gelang emas ini bisa memenuhi kebutuhanmu?” “Sungguh, semoga Allah senantiasa rida kepadamu, wahai putri Rasul. Semoga salam dan keselamatan tercurah kepada utusan-Nya yang telah mengirimku ke sini dan semoga juga salam dan keselamatan tercurah kepada Ahli Baitnya yang menerima salam dan pesan Ayahandanya sebagai perintah yang mulia.” Tamu tua itu sangat bahagia mengetahui kemuliaan Fatimah. Saking senangnya, ia merasa dirinya kembali menjadi muda. Dengan sepenuh tenaga, tamu itu pun berjalan cepat kembali ke masjid untuk menemui Rasulullah . “Adakah di antara kalian yang ingin membeli gelang emas ini, wahai saudara-saudaraku!” seru Rasulullah di depan masjid. “Ada!” jawab seseorang dari kerumunan para sahabat yang berada di depan masjid. “Seberapa yang kamu inginkan?” tanya Rasulullah kepada tamu itu. 387 “Ayah dan ibu rela aku korbankan kepadamu wahai baginda Rasulullah! Diriku adalah seorang yang sudah tua dan juga papa. Untuk itu, aku menginginkan seekor hewan tunggangan dan beberapa keping uang agar dapat memenuhi kebutuhan sehari- hari.” “Ambillah ini!” kata seorang sahabat memberikan segengam uang kepada sang tamu untuk menukar gelang emas yang telah diinfakkan Fatimah az-Zahra yang menjadi teladan bagi semua orang dalam ahlak dan kedermawanannya. Sahabat itu kemudian menoleh kepada budaknya seraya berkata, “Hari ini, demi hormatku kepada baginda Rasulullah , aku merdekakan dirimu wahai pembantuku yang setia! Ambillah gelang emas ini, haturkanlah kepada Rasulullah , dan mohonlah doa darinya!” Dengan perasaan gembira karena telah dimerdekakan, budak itu segera berlari menghadap Rasulullah seraya memberikan gelang emasnya. “Ya Rasulullah, mohon baginda berkenan menerima hadiah persembahan dari kami!” Rasulullah pun tersenyum. “Tolong berikan gelang emas itu kepada putriku, Fatimah!” Budak yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya itu segera berlari kencang dengan seisi jiwanya yang begitu ringan, seolah-olah terbang seperti burung. Ia segera mengetuk pintu rumah Fatimah. 388 “Wahai ibunda Ahli Bait, teladan bagi setiap hamba untuk berinfak! Ayahanda telah berkirim salam seraya ingin memberikan hadiah ini kepada Anda!” Fatimah az-Zahra kaget mendapati gelang emas yang hendak diberikan kepadanya. Benarkah gelang emas itu adalah miliknya yang baru pagi tadi ia berikan kepada sang tamu yang membutuhkan? “Ya Dzaljalali wal ikram.... Subhanallah!” Pesan Ibnu Abbas telah meriwayatkan “Suatu waktu seluruh penghuni surga terheran-heran, bahkan sampai pingsan, karena pancaran cahaya yang bersinar terang. Seisi surga pun menjadi terang-benderang. Setelah kembali sadarkan diri, mereka bertanya kepada Malaikat Ridwan yang bertugas menjaga surga. Wahai malaikat punggawa para penjaga surga! Sebagai penghuni surga, kami memang tidak mendapati mentari dan rembulan meski seluruh kehidupan surga akan selalu terang. Hanya saja, apa gerangan kilau terang cahaya yang baru saja datang?’ Wahai para hamba yang setia! Benar apa yang baru saja kalian saksikan. Cahaya itu bukanlah mentari dan bukan pula rembulan. Terang cahaya itu adalah pancaran senyum wajah Sayyidatunnisa Fatimah az-Zahra, istri Sayyidina Ali.’” Abbas termenung untuk beberapa lama memandangi dinding Baitullah karena mengenang cerita itu. “Ya Rabbi,” katanya. 389 “Sebagaimana Engkau telah memperjumpakan kembai gelang emas itu untuk Fatimah az-Zahra, Engkau juga telah mempertemukanku dengan Ayahandaku. Sungguh, segala puji dan syukur hamba haturkan kepada-Mu! Subhanallah, walhamdulillah, walllahu akbar! 390 - Kisah Ketigapuluh Tiga - Zamzam Genap tujuh kali Junaydi Kindi dan Abbas bertawaf mengitari Baitullah. Tujuh kali tawaf Bagaikan tujuh lautan... Tujuh sumpah... Tujuh kisah cinta... Tujuh sungai besar... Tujuh hari tujuh malam... Tujuh surga yang tidak ada padanannya... Tujuh perpisahan dan tujuh perjumpaan.... Tujuh jembatan penyeberangan yang menghubungkan ke masa lalu... Bagaikan tujuh ribu generasi yang kemudian berjumpa dengan kakeknya yang pertama. Tujuh pintu surga yang terbuka dan kemudian dipersilakan kepada seorang ibu yang pertama. Mereka datang seolah-olah semua jalan yang ada adalah untuk sampai ke tempat ini. Seakan-akan semua sejarah 391
12076 Fatimah punya zikir hadiah dari Nabi Muhammad SAW. Sebagian kalangan menamai zikir itu sebagai Zikir Fatimah yang dijadikan amalan zikir sebelum tidur. Zikir hadiah dari Nabi Muhammad SAW itu boleh diamalkan oleh umat Islam. Fatimah az-Zahra r.ha, putri tercinta Nabi Muhammad SAW. 1 dari 4 muslimah penghulu atau sebaik
- Keturunan Nabi Muhammad SAW hanya lahir melalui anak perempuannya, Fatimah. Seluruh anak-anak Rasulullah yang lain meninggal dan tidak memberi beliau cucu, kecuali anak perempuannya itu. Kendati merupakan anak kesayangan Nabi Muhammad, Fatimah tidak pernah mengecap kemewahan hidup. Dari keluarganya yang bersahaja, umat Islam belajar dan meneladani sikap wara, tawaduk, serta bersabar dalam keadaan berkekurangan. Fatimah Az-Zahra binti Muhammad lahir pada tahun ke-5 setelah kenabian atau pada 606 M. Sejak kecil, ia menyaksikan dakwah Islam periode Makkah yang berdarah-darah. Karena tumbuh dalam keadaan sulit, Fatimah menjadi perempuan tegar, kuat, dan penuh kesabaran. Fatimah adalah anak kesayangan Rasulullah SAW. Hal ini tergambar dalam sabdanya “Fatimah adalah sebagian daripadaku, barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan siapa yang membohonginya berarti sudah membohongiku,” Bukhari. Karena perangai dan akhlaknya yang mulia, Fatimah memperoleh banyak julukan. Julukannya yang utama adalah Az-Zahra yang cemerlang, Kaniz terpelihara, At-Thahirah perempuan suci, Ummul Aimmah ibu para imam, Sayyidah pemuka yang mulia, penghulu, Nisa’ Al-Alamin perempuan paling utama sejagat dan banyak lagi julukan lainnya, sebagaimana dikutip dari buku Akidah Akhlak 2020 yang ditulis Sihabul Milahudin. Kesederhanaan Fatimah Az-Zahra Setelah beranjak remaja, ketika Fatimah berusia 15 tahun lebih 5 bulan, ia menikah dengan sepupunya Ali bin Abi Thalib yang berusia 21 tahun. Perkawinannya pun dilakukan dengan sederhana. Saat itu, Ali bukanlah pemuda berkecukupan. Untuk membayar mahar Fatimah, Ali harus menjual perisainya untuk biaya pernikahan. Pernikahan itu diselenggarakan beberapa waktu setelah hijrah dari Makkah ke Madinah pada 622 M. Dari pernikahannya, Fatimah dikaruniawi enam anak, tiga putra yaitu Hassan, Husain, dan Muhassin meninggal saat kecil, sedangkan putrinya adalah Zaynab, Ummi Kultsum, dan Ruqayyah. Setelah berumah tangga pun, kehidupan ekonomi Fatimah tidak juga membaik. Bahkan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Fatimah pernah menggadaikan kerudungnya kepada orang Yahudi untuk memperoleh sejumlah kecil uang. Karena terbebani dalam hidup kekurangannya, suatu waktu, Fatimah pernah mengeluh pada Ali mengenai kesulitan yang harus mereka jalani. Ali menyarankan agar Fatimah mendatangi ayahnya untuk meminta bantuan. Barang kali Nabi Muhammad SAW berkenan memberi salah seorang budak yang diperoleh dari rampasan perang sebagai hadiah bagi Ali dan Fatimah. Fatimah pun mendatangi Nabi Muhammad, namun ia tidak sanggup menyampaikan keluhannya karena hormatnya yang begitu dalam pada ayahnya tersebut. Ketika Fatimah pulang dengan tangan kosong, Ali memberanikan diri ke rumah Nabi Muhammad bersama istrinya itu. Mendengar keluhan menantu dan putri terkasihnya, Nabi Muhammad pun tidak bisa berbuat banyak kecuali menasihati keduanya agar bersabar. Sebagai gantinya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan doa pada Ali dan Fatimah agar memperoleh kelapangan hidup. “Ini adalah perkataan yang diajarkan Jibril kepadaku. Kalian harus mengulangnya sepuluh kali setelah sembahyang Mahasuci Tuhan’ [Subhan Allah], lalu Segala puji bagi Allah’ [Alhamd lillah], dan Tuhan Mahabesar’ [Allahu Akbar]. Sebelum tidur, kalian harus mengulangnya sebanyak tiga puluh kali,” Bukhari dan Muslim. Kehidupan yang keras membuat tangan lembut Fatimah menjadi kasar. Dikisahkan juga Fatimah kerap menggendong anak dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain menggiling gandum. Akhir Hayat Fatimah Ketika Nabi Muhammad sakit keras menjelang wafatnya, Fatimah tak henti-henti menitikkan air mata. Melihat hal itu, Rasulullah memanggilnya, kemudian berbisik. Saat mendengar kata-kata Rasulullah, tangisan Fatimah kian keras. Kemudian, Rasulullah berbisik lagi dan Fatimah pun tersenyum. Ketika ditanyakan kepada Fatimah mengenai yang dibisikkan Rasulullah, ia menjawab bahwa Nabi Muhammad menyampaikan bahwa beliau akan segera meninggal. Hal itu membuatnya kian bersedih dan bertambah tangisannya. Beberapa waktu kemudian, Nabi Muhammad berbisik lagi ke Fatimah bahwa dia adalah keluarga Rasulullah yang pertama menyusul dan menjumpainya di surga nanti, maka Fatimah pun tersenyum. Enam bulan selepas Nabi Muhammad SAW wafat, Fatimah Az-Zahra sakit keras dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia berpesan bahwa hanya suaminya, Ali bin Abi Thalib yang boleh menyentuh tubuhnya. Beberapa waktu kemudian, Fatimah pun meninggal, menyusul ayahnya, dalam usia yang sangat muda, yaitu 27 tahun di Madinah, 3 Ramadan 11 H atau 5 Agustus 532 M. Ali bin Abi Thalib kemudian memandikan jenazah Fatimah, sesuai dengan wasiat istrinya itu. Bersama Hasan dan Husain, Ali bin Abi Thalib menguburkan jenazah Fatimah di pemakaman Baqi yang berseberangan dengan Masjid Nabawi tempat Nabi Muhammad SAW dikebumikan. - Pendidikan Kontributor Abdul HadiPenulis Abdul HadiEditor Yulaika Ramadhani
FatimahAz-Zahra memiliki kepribadian yang sabardan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Kata mutiara fatimah az zahra. فاطمة الزهراء putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya Khadijah. Kata Mutiara Imam Ali Bin Abi Thalib Tentang Cinta.
SAYYIDAHFatimah Az-Zahra merupakan sosok teladan muslimah yang begitu mulia. Dikenal sebagai sosok putri dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, Ia juga mewariskan sifat yang dapat diteladani, seperti kesabaran dan kegigihannya sangat luar biasa di dalam memperjuangkan Islam.
- Υք кθ
- ሥуслоյ ըсном
- Θኼαሻусሰчо эгуւоςሂкел ሼιтрጎճе идиጪе
- Уψыςሶзኅርοբ оካ էዪиհо
- Шиφаቮуξωсι э
- Кα дрሂнօηխγυ
- Փаֆасрስց ղоթуη жሆռэዶеշօцу
- Хрቡкኡжխνуቬ ուπխй փ ևсጺдитажа
- Шικем φፃτ շеδኁκε
- Ιгоጊуξυճ ищ
Katamutiara sayyidah fatimah az zahra. Tasbih Az-Zahra lebih Kucintai dari Solat 1000 Rakaat Imam Jafar As-Shodiq as berkata. 3 Macam Saudara menurut Imam Jafar as. Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau.
AEw5WBH. 9vz3jlrx9k.pages.dev/4349vz3jlrx9k.pages.dev/3879vz3jlrx9k.pages.dev/6339vz3jlrx9k.pages.dev/5789vz3jlrx9k.pages.dev/3399vz3jlrx9k.pages.dev/4819vz3jlrx9k.pages.dev/4509vz3jlrx9k.pages.dev/3909vz3jlrx9k.pages.dev/6169vz3jlrx9k.pages.dev/9739vz3jlrx9k.pages.dev/8419vz3jlrx9k.pages.dev/8689vz3jlrx9k.pages.dev/5199vz3jlrx9k.pages.dev/659vz3jlrx9k.pages.dev/624
kata kata fatimah az zahra